Aku ingin pulang. Telah kunanti ketupat dan opor ayam. Ibuku selalu bilang, anak yang baik harus pulang ketika lebaran. Ada doa yang harus disemat bapak dan ibu, katanya. Ada rindu yang harus ditumpahkan sebelum meledak di jalanan.
Aku ingin pulang. Tinggal di perantauan membuatku melayang. Tapi tetap, kampung halaman adalah kenangan dan sejarah. Ada nenek dan kakekku di desa. Nama mereka masih disebut sebut ketika menjelang lebaran. Bapak bilang, rumah ini adalah sejarah. Jika rumah ini terjual, kamu akan kehilangan jati diri dan sejarahmu.
Aku ingin pulang. Aku rindu suara takbiran dan berkumpul di masjid. Kutemukan masa kecilku di sana. Kutemukan sahabat kecilku yang dulu ingusan. Kutemukan musuh kecilku yang dulu berebut rambutan hutan. Aku tahu, masa kecil teramat indah untuk dikenang dan ditertawakan.
Aku ingin pulang. Usiaku sudah matang. Keluargaku tumpah jadi satu. Berkumpul bersama di rumah Pakde B. Tahun lalu sudah berkumpul di rumah Om A. Aku tertawa di antara sepupu, keponakan, cucunya Pakde A, cicitnya Mas B. Aku bahagia. Lebaran tahun ini terasa nikmat di dada.
Aku ingin pulang. Aku rindu pantai. Bercengkrama bersama ombak dan kepiting. Atau nyiur yang membawa kawanan angin
Pasir-pasir berbicara, seperti membantuku menghindar dari pertanyaan, kapan akan lepas masa lajang?
2015.07.13
07.09 am
This post have 8 comments
Duileh, kalimat terakhirnya itu lho wkwkwk
ReplyJangan tersinggung ya, Deb. Ahahaha. Aku menyinggung diri sendiri aja,
Replytumpah jadi satu? kok berasa kurang pas ya? #imho
ReplyMaksudnya berkumpul. Hehehe. Makasih Mas Agus sudah mampir. Nanti saya main ke blognya ya.
Replyiya, soalnya kalau logika kan tumpah itu 'kebanyakan' pecah, ambyar :D sama-sama. salam kenal, salam pena, salam blogging.
ReplyIya. Makasih ya masukannya.
ReplyWoahhh.... makin pengin pulang :')
ReplyBtw, susunan kalimatnya cantik, Kak. Hihi
Ahaha. Ayo pulang. Opor ayam sudah menunggu. Upss.
ReplyThanks aniwe, Neli untuk komentarnya :)
EmoticonEmoticon