Rabu, 25 Maret 2015

author photo
bentar Dibaca
Dia bernama kegelapan. Entah dari mana dia datang. Di depannya sehamparan rumput berubah menjadi sedikit keemasan. Ah, ada secarik cahaya di sana, di atas toples-toples kaca. Merah, kuning, pink, dan dan beberapa violet. 

Dua sejoli datang dari gedung besar. Dari sana puluhan cahaya berserakan. Sedikit sibuk dan terkadang batu hantam. Ah, mereka tak peduli pada keramaian di dalamnya. Kegelapan, rumput dan bias cahaya lebih menggodanya.

Si perempuan duduk manis di atas kursi rodanya. Wajahnya dibuat pucat yang bahagia. Di tangannya ada selang infus yang tertempel begitu saja. Lelakinya mendorong kursi itu dengan rayu lingga. Dunia milik mereka berdua. 

Tuhan duduk manis, sejauh lima meter dari sejoli itu. Hawanya harap cemas. Di depannya monitor menampakkan mereka. "Ini akan sedikit romantis. Ini akan jadi box office."

Sang tuhan masih bertandang. Masih harap cemas tak tertahan. Sedang malaikat pembantunya, sedang sibuk merias keadaan.

Seorang laki-laki muda datang dari arah cahaya. Dia memakai baju putih dengan wajah yang letih. Ranum wajahnya, dua puluhan usianya dan masih cukup muda. 

Didekatinya sang tuhan kegelapan. Agak ragu meski tertahan. Tapi apa daya, dia harus melakukan.
"Pak, bisa tolong lampu dinyalakan? Kami butuh cahaya lebih untuk perawatan." kata lelaki berbaju putih.

"Maaf, kami sudah pesan tempat ini untuk operaku." kata yang tuhan kegelapan.

"Pasien kami akan datang lima menit lagi. Kami kurang ruang." imbuhnya. 

Mereka tengkar irama. Sejoli yang menikmati rumput dan cahaya hilang kendali.

Tulilittt tulilitt. Suara sirine itu. Dua tiga ambulan memasuki pintu. Tengkar mereka meredu. Si tuhan kegelapan kesu.

"Cut! Cut!"

Opera kegelapan berakhir hari itu. 

2015.03.23

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post